Jumat, 04 September 2009

IMAM AL-GHAZALI (Pemikiran Tentang kebenaran dan Pendidikan)

IMAM AL-GHAZALI
(Pemikiran Tentang kebenaran dan Pendidikan)
Oleh Jamhari SP

Tugas Mata kuliah : TKIP
Dosen Pembimbing : Ir. Mohamad Adriyanto, MSM


Riwayat Hidup

Imam al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 Hijrah bersamaan dengan tahun 1058 Masehi di bandat Thus, Khurasan (Iran). Beliau berkun`yah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan gelar ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan. Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i. Beliau berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Beliau pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 4 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.

Sifat Pribadi

Imam al-Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Beliau digelar Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Beliau sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam. Beliau berjaya mengusai pelbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Beliau juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengambara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Sebelum beliau memulakan pengambaraan, beliau telah mempelajari karaya ahli sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid Busthami. Imam al-Ghazali telah mengembara selama sepuluh tahun. Beliau telah mengunjungi tempat-tempat suci yang bertaburan di daerah Islam yang luas seperti Mekkah, Madinah, Jerusalem, dan Mesir. Beliau terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak kecil lagi berliau telah dididik dengan akhlak yang mulia. Hal ini menyebabkan beliau benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur, dan sifat-sifat tercela yang lain. Beliau sangat kuat beribadat, wara, zuhud, dan tidak gemar kepada kemewahan, kepalsuan. Kemegahan, dan kepuran-puraan dan mencari sesuatu untuk mendapat keredhaan dari Allah SWT. Beliau mempunyai keahlian dalam pelbagai bidang ilmu terutamanya fiqih, usul fiqih, dan siyasah syariah. Oleh karena itu, beliau disebut sebagai seorang faqih.


Epistemologi Filsafat Al-Ghazali
Tidaklah berlebihan ketika Nicholson menyampaikan angan-angannya bahwa seandainya ada seorang nabi setelah Muhammad, maka Al-Ghozali-lah orangnya (R.A Nicholson,1976), pernyataan ini meskipun tak sepenuhnya dapat dibenarkan, tetapi setidaknya jika salah satu sifat seorang nabi itu adalah cinta akan ilmu pengetahuan dan kebenaran, maka keterlibatan Al-Ghozali dalam hampir semua diskursus keilmuan, seperti; ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf, cukup bisa dijadikan sebagai salah satu alasan untuk menguatkan pernyataan tersebut . Sebab, dengan alasan serupa yang membuat Al-Ghozali tak pernah lepas dari pertimbangan siapapun yang berusaha memahami Agama Islam secara luas dan mendalam (Nurcholis Madjid, 1996).
Kendati demikian, ibarat kata pepatah tiada gading yang tak retak, kebesaran reputasi Al Ghozali itu bukan tanpa cacat. Justru keterlibatannya dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman tersebut dipandang oleh sebagian pengamat sejarah sebagai salah satu faktor penyebab hilangnya rasionalisme, yang pada gilirannya nanti menjadi faktor penting bagi kemunduran dunia Islam. Misalnya, pertama, usahanya dalam mempertahankan afiliasi kalamnya (Asy’ariah) sebagai ideologi resmi penguasa Abbasyiah, paling tidak semakin menambah kebencian umat Islam terhadap aliran Mu’tazilah, kalau bukan justru menegasikan sama sekali terhadap aliran teologi Islam yang rasionalis tersebut, sehingga semangat rasional yang terdapat didalamnya dengan sendirinya juga ditinggalkan oleh umat Islam. Kedua, magnum opusnya dibidang filsafat, Tahafut al Falasifah, sering dipahami oleh beberapa pengamat sebagai penyebab hilangnya rasionalisme di dunia Islam, sehingga meskipun perlahan tapi pasti, Islam berangsur-angsur mulai mengalami kemunduran. Ketiga, dua penilaian diatas semakin lengkap dengan lahirnya karya sensasional Al-Ghozali dibidang sufisme, Ihya’ Ulum Al-Din, yang pada kenyataannya memang telah menjadi teman akrab umat Islam dalam melaksanakan praktek-praktek romantisme dengan Tuhan melalui pemberdayaan rasa (Dzauq) dan bukan nalar (akal). Dari sudut pandang ini, bila rasio itu memang dapat dipahami sebagai salah satu kunci kejayaan Islam, maka tak mengherankan bila ada beberapa pengamat seringkali melekatkan nama Al-Ghozali dengan kemunduran dunia Islam.
Walaupun begitu, terlepas dari penilaian kontroversial terhadap hujjatul Islam tersebut, yang pasti dia telah ikut aktif dalam mengisi lembaran sejarah umat ini. Karya-karya besar yang diciptakannya dalam berbagai diskursus ke-Islaman merupakan bukti penting bahwa Al-Ghozali, baik dalam kapasitasnya sebagai teolog , filosof, mapun seorang sufi. Sebab jangan-jangan kemunduran dunia Islam itu bukan semata-mata disebabkan olehnya, tetapi justru dikarenakan umat Islam sendiri yang terlalu fanatik terhadap Al-Ghozali, sehingga yang diwarisi bukan bangunan epistemologinya dan semangat pencariannya akan kebenaran yang hakiki, tetapi sekedar produk pemikirannya secara taken for granted.
Al-Ghazali, seperti telah disinggung sekilas di atas, sering secara tidak adil dituduh sebagai biang keladi kemunduran Islam hanya karena ia lebih mengedepankan afiliasi dalam ‘tradisional’ Asy’ariahnya dibanding aliran ‘nasionalnya’ Mu’tazilah, dan terutama karena serangan terhadap filsafat melalui kitabnya, Tahafut al-Falasifah,serta keberpihakannya terhadap tasawuf yang lebih mengutamakan olah rasa daripada nalar sebagai satu-satunya jalan yang paling absah menuju kebenaran hakiki.
Dengan pola pemahaman yang sangat sederhana, barangkali, Al-Ghazali memang memberikan kesan seperti itu, namun dalam telaah yang lebih luas dan mendalam, Al-Ghazali bukanlah penyebab kemunduran dunia Islam. Orang telah lupa bahwa sesungguhnya Asy’ariah seringkali dinilai sebagai suatu bentuk aliran teologi yang bersifat tradisional, bukan berarti dia menafikan akal atau penalaran dalam berbagai pemahamannya. Sedangkan terkait dengan serangannya terhadap filsafat, kalau kita mengetahui sisi filsafat mana yang diserangnya , maka akan kita dapati bahwa tuduhan di atas sangatlah tidak mendasar. Sebab, Al-Ghazali bukannya menyerang keseluruhan bangunan filsafat, tetapi hanya bagian metafisikanya saja. Itupun, yang diserangnya bukan objek kajiannya, tetapi lebih pada kesalahan struktur argumentasi para filosof.
Kecuali itu, apabila kita lihat apa yang mendorong Al-Ghazali mempelajari falsafah dan kemudian menulis bukunya, Maqodis Al Falasifah dan Tahafut Al Falasifah, maka kita dapati bahwa adanya aliran dan madhab dalam Islam serta pengakuannya masing-masing bahwa pendapatnyalah yang paling benar sedangkan pendapat lain yang salah inilah yang memotivasi Al-Ghazali semenjak muda senantiasa mencari kebenaran yang hakiki. (Harun Nasution, 1996).
Yang dimaksud Al-Ghazali dengan kebenaran hakiki adalah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya; tak terdapat sedikitpun keraguan di dalamnya. Demikian tegas Al-Ghazali: Jika kuketahui bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga, lantas ada orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti tongkat dapat diubah menjadi ular dan hal itu memang terjadi, bahwa memang kusaksikan sendiri, maka kejadian itu tidak akan membuatku ragu terhadap pengetahuanku bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Hal itu sekali-kali tidak akan pernah membuat aku bimbang terhadap pengetahuanku". (Al-Ghazali, 1961).

Itulah bentuk kebenaran hakiki sebagai suatu hasil pengetahuan yang meyakinkan, yang oleh Al-Ghazali keyakinan itu disimbolkan sampai ke tingkat yang sangat matematis, sehingga ia tidak akan tergoyahkan lagi oleh bentuk intimidasi apapun. (Dzurkani Jahja, 1996).
Seseorang, demikian Al-Ghazali berpendapat, tidak akan bisa sampai pada pengetahuan yang meyakinkan tersebut bila ia bersumber dari hasil pengamatan indrawi (hissiyat) dan pemikiran yang pasti (dzaruriyat). (Al-Ghazali, 1961). Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Al-Ghazali telah menggabungkan paradigma empirisme dan rasionalisme. Tetapi, bentuk pemaduan itu tetap dilakukan secara hierarkis, bukan dalam rangka melahirkan sintesa diantar keduanya.
Terhadap hasil pengamatan indrawi, Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan bahwa:
"Tentang hal ini aku ragu-ragu, karena hatiku berkata : bagaimana mungkin indra dapat dipercaya, penglihatan mata yang merupakan indera terkuat adakalanya seperti menipu. Engkau misalnya, melihat bayang-bayang seakan diam, padahal setelah lewat sesaat ternyata ia bergerak sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau juga melihat bintang tampaknya kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur menunjukkan bahwa bintang lebih besar daripada bumi. Hal-hal seperti itu disertai dengan contoh-contoh yang lain dari pendapat indera menunjukkan bahwa hukum-hukum inderawi dapat dikembangkan oleh akal dengan bukti-bukti yang tidak dapat disangkal lagi". (Al-Ghazali, 1961).
Dari pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang lebih bertumpu pada hasil penglihatan inderawi, tidak dapat dijadikan sebagai bentuk pengetahuan yang menyakinkan lagi, sebab kebenaran yang ditawarkan bersifat tidak tetap atau berubah-ubah.
Kredibilitas akal, karena itu, juga tidak luput dari kuriositas Al-Ghazali terhadap hakikat yang sedang dicari-carinya. Kredibilitas akal diragukan, karena kekhawatirannya, jangan-jangan pengetahuan aqliyah itu tidak ada bedanya dengan seseorang yang sedang bermimpi, seakan-akan ia mengalami sesuatu yang sesungguhnya, tetapi ketika ia siuman nyatalah bahwa pengalamannya tadi bukanlah yang sesungguhnya terjadi." (Al-Ghazali, 1961).
Sampai di sini, dikarenakan kebenaran hakiki yang dicari-carinya belum juga ketemu, akhirnya Al-Ghazali dihinggapi oleh sikap skeptis, suatu keadaan dimana hujjatul Islam ini didera oleh keadaan yang luar biasa, sehingga ia tidak mampu lagi untuk mengingat pengetahuan-pengetahuan yang pernah diperolehnya, bahkan untuk sekedar berbicarapun ia tak mampu. Masa-masa kritis bagi pengembangan pengetahuannya ini berlangsung selama dua bulan hingga ia menemukan kesadarannya kembali. Dengan dipenuhi segala rasa aman dan yakin, Al-Ghazali akhirnya dapat menerima pengertian aksiomatis (awalli) dari akal.
"Mungkin tidak ada yang dapat dipercaya selain pengertian-pengertian aksiomatis (pengetahuan yang bersifat asasi), seperti pengertian bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; atau bahwa negasi dan afirmasi tidak akan dapat berkumpul dalam satu perkara; tidak ada yang baru dan pada saat yang sama ia juga dahulu; tidak ada sesuatu yang ada dan pada saat itu juga ia tidak ada; atau sesuatu yang bersifat pasti dan ia juga bersifat mustahil pada saat yang sama." (Al-Ghazali, 1961). "……dengan perasaan sama dan yakin ia dapat menerima kembali segala pengertian aksiomatis dari akal. Semua itu tidak terjadi dengan mengatur alasan ataupun menyusun penjelasan, tetapi dengan nur yang dipancarkan Allah kedalam batinku……kita hendaklah mencari sekuat tenaga apa yang harus dicari sampai pada sesuatu yang tidak usah kita cari lagi, karena ia memang sudah ada. Kalau kita mencari terus sesuatu yang telah ada niscaya ia akan menjadi samar dan membingungkan." (Al-Ghazali, 1961).
Dengan berbekal keyakinan aksiomatis inilah Al-Ghazali mencoba meneliti kebenaran hakiki yang ditawarkan melalui jalan kalam, batiniyah, filsafat dan sufisme. Selama pengembaraannya didunia ilmu kalam, batiniyah ataupun filsafat tidak ada yang didapatnya kecuali hanya pengetahuan-pengetahuan yang akan mengantarnya kepada kebenaran yang masih menimbulkan keraguan-keraguan dan pertanyaan-pertanyaan baru.
Akhirnya hanya di jalan sufisme-lah, Al-Ghazali mulai mendapatkan jalan terang menuju pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu seperti yang dicarinya selama ini, yakni dibukakannya rahasia ke-Tuhanan dan aturan-aturan tentang segala yang ada, sehingga tampaklah secara langsung Al-Ghazali sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata ataupun tidak pernah terdengar oleh telinga.

"……Apa yang dikatakan orang tentang suatu jalan yang dimulai dengan membersihkan hati, sebagai syarat pertama, mengosongkan sama sekali dari segala sesuatu selain Allah, dan kunci pintunya laksana takbirotul ihrom dalam sholat ialah tenggelamnya hati dalam dzikir kepada Allah dan akhirnya fana sama sekali dengan-Nya……Diawal perjalan ini dimulailah peristiwa-peristiwa mukasyafah (terbukanya rahasia-rahasia) dan musyahadah (penyaksian langsung)……"(Al-Ghazali, 1961).

Pengetahuan terakhir inilah yang Al-Ghazali disebut dengan Al-Kasyf, yang merupakan puncak dari bangunan epistomologis. Hanya melalui Al-Kasyf inilah seseorang akan mencapai hakikat pengetahuan yang kokoh, karena apa yang diperolehnya melalui jalan kasyf ini sekali-kali tidak akan pernah membuatnya bimbang ataupun ragu, sebab pengetahuan ini dilahirkan dari suatu sikap (tingkah laku dan pemahaman yang selalu diterangi oleh cahaya kenabian).
Pendidikan
Pada tingkat dasar, beliau mendapat pendidikan secara gratis dari beberapa orang guru karena kemiskinan keluarganya. Pendidikan yang diperoleh pada peringkat ini membolehkan beliau menguasai Bahasa Arab dan Parsi dengan fasih. Oleh sebab minatnya yang mendalam terhadap ilmu, beliau mula mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, usul fiqih, filsafat, dan mempelajari segala pendapat keeempat mazhab hingga mahir dalam bidang yang dibahas oleh mazhab-mazhab tersebut. Selepas itu, beliau melanjutkan pelajarannya dengan Ahmad ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqih, Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan Imam Harmaim di Naisabur. Oleh sebab Imam al-Ghazali memiliki ketinggian ilmu, beliau telah dilantik menjadi mahaguru di Madrasah Nizhamiah (sebuah universitas yang didirikan oleh perdana menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijrah. Kemudian beliau dilantik pula sebagai Naib Kanselor di sana. Beliau telah mengembara ke beberapa tempat seperti Mekkah, Madinah, Mesir dan Jerusalem untuk berjumpa dengan ulama-ulama di sana untuk mendalami ilmu pengetahuannya yang ada. Dalam pengembaraan, beliau menulis kitab Ihya Ulumuddin yang memberi sumbangan besar kepada masyarakat dan pemikiran manusia dalam semua masalah.

Pendidikan Akhlak
Al-Ghazali memberikan kriteria terhadap akhlak. Yaitu, bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan penelitian teriebih dahulu. Dengan kedua kriteria tersebut, maka suatu amal itu memiliki korespondensi dengan faktor-faktor yang saling berhubungan yaitu: perbuatan baik dan keji, mampu menghadapi keduanya, mengetahui tentang kedua hal itu, keadaan jiwa yang ia cenderung kepada salah satu dari kebaikan dan bisa cendrung kepada kekejian (al-Ghazali, jilid 2, 2000:599).
  Akhlak bukan merupakan "perbuatan", bukan "kekuatan", bukan "ma'rifah" (mengetahui dengan mendalam). Yang lebih sepadan dengan akhlak itu adalah "hal" keadaan atau kondisi: di mana jiwa mempunyai potensi yang bisa memunculkan dari padanya manahan atau memberi. Jadi akhlak itu adalah ibarat dari " keadaan jiwa dan bentuknya yang bathiniah" (al-Ghazali, jilid 2, 2000:599).
  Di satu sisi, pendapat al-Ghazali ini mirip dengan apa yang di kemukakan oleh Ibnu Maskawaih (320-421H/932-1030 M) dalam Tahdzib al akhluk. Tokoh filsafat etika yang hidup lebih dahulu ini menyatakan bahwa akhlak adalah "keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu." la tidak bersifat rasional, atau dorongan nafsu. (Maskawaih, 1985 :56).
Pembagian akhlak
  Dalam pembagian itu al-Ghazali ( II, 2000: 600) mempunyai 4 kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu kriteria akhlak yang baik dan buruk, yaitu: Kekuatan 'Ilmu, atau hikmah, kekuatan marah, yang terkontrol oleh akal akan menimbulkan sifat syaja'ah, kekuatan nafsu syahwat, dan kekuatan keseimbangan (keadilan), (al-Ghazali, jilid 2, 2000: 600). Keempat komponen im merupakan syarat pokok untuk mencapai derajat akhlak yang baik secara mutlak. Semua ini dimiliki secara sempuma oleh Rasulullah. Maka tiap-tiap orang yang dekat dengan empat sifat tersebut, maka ia dekat dengan Rasulullah, berarti ia dekat juga dengan Allah. Keteladanan ini karena Rasulullah 'tiada diulus kecuali uniuk menyempurnakan akhlak' (Ahmad, Hakim dan Baihaqi)
  Dengan meletakkan ilmu sebagai kriteria awal tentang baik dan buruknya akhlak, al-Ghazali mengkaitkan antara akhlak dan pengetahuan, sebagaimana dilakukan oleh al-Farabi dan Ibnu Maskawaih (Najati, 2002;235). Hal ini terbukti dengan pembahasan awal dalam Ihya' adalah bab tentang keutamaan ilmu dan mengamalkannya. Sekalipun demikain ia akhlak tak ditentukan sepenuhnya oleh ilmu, juga oleh faktor lainnya.
  Kriteria yang dipakai al-Ghazali juga telah diperkenalkan oelh Ibnu Maskawaih. Bagian akhlak menurut Ibnu Maskawaih (1985:46-49) adalah; kearifan (yang bersumber dari ilmu), kesederhanaan, berani dan kedermawanan serta keadilan. Semua unsur ini bersifat seimbang (balance/wasath). Dalam perspektif filsafat etika mulai dari Yunani masa Aristoteles hingga modem, keadilan beserta factor lainnya yang menjadi kriteria ini juga dipakai filosof Kohlberg, John Dewey dan Emile Durkheim. Kohlberg (1995:32-35) menyatakan bahwa keadilan ini akan menjadi norma dasar moralitas masyarakat modern yang beradab.
  Sementara untuk pembagian akhlak baik dan buruk, al-Ghazali tak berbeda dengan banyak tokoh lainnya. la membagi akhlak menjadi yang baik atau mahmudah dan madzmumah atau buruk (Nata, 1997:103). Dalam Ihya' al-Ghazali (2002; 2) membagi menjadi empat bagian yaitu ibadah, adab, akhlak yang menghancurkan (muhlikat) dan akhlak yang menyelamatkan (munjiyal). Akhlak yang buruk adalah rakus makan, banyak bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabbur serta riya'. Sedangkan akhlak yang baik adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati.
  Bila ditinjau pembagian yang merusak dan dan menyelamatkan adalah al-Ghazali meletakkan akhlak dalam perspektif tasawuf yang lebih mendalam. Akhlak ini dalam tasawuf disebut hal atau kondisi batiniah. Akhlak lahiriah seperti dermawan pada fakir miskin tak ada gunanya bila tanpa diringi akhlak batiniah seperti keihklasan.
Metode pendidikan akhlak
  Menurut al-Ghazali, pendidikan moral (al-thuruq ila tahzib al akhlak) memiliki beberapa metode diantaranya; pertama, metode pembiasaan, yakni metode dengan melatih anak untuk membiasakan dirinya pada budi pekerti dan meninggalkan kebiasaan yang buruk melalui bimbingan dan latihan (exercising). Tentang metode ini al-Ghazali mengatakan bahwa semua etika keagamaan tidak mungkin akan meresap dalam jiwa sebelum jiwa itu sendiri dibiasakan dengan kebiasaan baik dan dijauhkan dari kebiasaan yang buruk. Nilai-nilai moral dan etika keagamaan haruslah mendarah daging menjadi perilaku (behaviour) dan kebiasaan (habitus) bahkan kesadaran (consciousness).
Hal ini seperti apa yang beliau kemukakan :
“Apabila anak itu dibiasakan untuk mengamalkan apa-apa yang baik, diberi pendidikan ke arah itu pastilah ia akan tumbuh di atas kebaikan tadi akibat positifnya ia akan selamat sentosa di dunia dan akhirat. Sebaliknya jika anak itu sejak kecil dibiasakan dan dibiarkan mengerjakan keburukan, begitu saja tanpa diberikan pendidikan pengajaran, yakni sebagaimana halnya seseseorang memelihara binatang, maka akibatnya anaki tu akan selalu berakhlak buruk, dan dosanya dibebankan kepada orang yang bertanggung jawab (orang tua dan guru) memelihara dan mengasuhnya. (Al-Ghazali , Ihya’ Ulumuddin, VI hal. 107).
Untuk menopang proses pembentukan kebiasaan bagi anak-anak, al-Ghazali mengemukakan beberapa prinsip yang perlu dilakukan oleh pendidik yaitu: penggunaan dorongan atau pujian secara proporsional, pemberian celaan secara bijaksana, melarang anak untuk berbuat buruk secara sembunyi-sembunyi, melarang anak untuk membanggakan apa yang dimilikinya, mengajari anak untuk bersikap suka memberi (kedermawanan) dan tidak suka meminta (kemandirian).
Kedua, metode keteladanan. Dalam rangka membawa manusia menjadi manusiawi, Allah telah menciptakan Rasulullah sebagai pribadi teladan yang baik. Demikian halnya dengan guru. Dalam pandangan al-Ghazali, guru adalah pewaris nabi dan subyek pendidikan, maka haruslah menjadi teladan bagi anak didiknya. Dan orang tua tidak lain adalah guru bagi anak-anaknya.
Berkaitan dengan hal tersebut al-Ghazali memberikan penjelasan seperti apa yang dikemukakannya:
“Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya membohongi perbuatanya…. Perumpamaan guru yang membimbing murid adalah bagaikan ukiran dengan tanah liat, atau bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat dapat terukir sendiri tanpa ada alat untuk mengukirnya, bagaimana mungkin bayangan akan lurus kalau tongkatnya bengkok.“ (al-Ghazali, Ihya’Ulummuddin, juz 8 hal. 105-109).
Hal di atas menegaskan betapa al-Ghazali sangat menekankan keteladanan dalam pendidikan moral. Orang tua harus bisa memulai dan berbuat lebih dahulu (learning by doing) apa yang diajarkannya pada anaknya, sebab kalau tidak itu justru akan berdampak buruk pada anak. Anak akan kehilangan kepercayaan pada orang tua yang keteladanannya hanya sebatas di lisan saja. Orang tua adalah arketip bagi anak-anaknya.
Ketiga, tazkiyah nafs (metode penyucian diri). Dilihat dari segai muatan nilainya, metode ini adalah metode tingkat lanjut, yang strategi parenting di masa remaja dan masa dewasa awal. Metode ini terdiri dari dua langkah yaitu takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs. Takhliyah al-nafs adalah usaha penyesuaian diri melalui pengosongan diri dari sifat-sifat tercela. Sedangkan tahliyah al-nafs merupakan penghiasan diri dengan moral dan sifat terpuji.
Proses penyucian jiwa menekankan pentingnya orang tua sebagai pembimbing moral dan panutan penyucian diri, pencerahan, pembersihan jiwa. Sebagaimana seorang sufi harus memahami tingkat-tingkat atau kondidsi penyakit jiwa yang dialami oleh murid, demikian halnya orang tua sebagai guru bagi anak-anaknya harus benar-benar mengetahui kondisi jiwa anak-anaknya itu. Dengan demikain keberadaan orang tua aakan bersifat solutif bagi problematika hidup yang dihadapi anak.
Kalangan orang tua pun harus sering bertukar fikiran satu sama lain agar terciptakan suatu tradisi sharing bersama atau groupthinking yang berisi pengalaman-pengalaman dan pelajaran menjadi orang tua, sehingga mereka bisa lebih dinamis lagi dalam mendidik anak-anak mereka
Menurut al-Ghazali (2003; 72-73)., ada dua cara dalam mendidik akhlak, yaitu; pertama, mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan di ulang-ulang. Selain itu juga ditempuh dengan jalan pertama, memohon karunia Illahi dan sempumanya fitrah (kejadian), agar nafsu-syahwat dan amarah itu dijadikan lurus, patuh kepada akal dan agama. Lalu jadilah orang itu berilmu (a'lim) tanpa belajar, terdidik tanpa pendidikan, ilmu ini disebut juga dengan ladunniah.
  Kedua, akhlak tersebut diusahakan dengan mujahadah dan riyadhah, yaitu dengan membawa diri kepada perbuatan-perbuatan yang dikehendaki oleh akhlak tersebut. Singkatnya, akhlak berubah dengan pendidikan latihan. (al-Ghazali, 2000;601-602).
Pendidikan akhlak menurut al-Ghazali.
  Positive parenting adalah pendidikan dari orang tua yang bersifat positif dalam membangun karakter kepribadian, keutuhan mental, kecerdasan fisik/ psiko-motorik, kecerdasan kognitif serta spiritual sang anak. Bisa dikatakan bahwa positive parenting adalah pendidikan integratif dari orang tua terhadap anak.
Dalam pemikiran al-Ghazali, hal yang sangat mendasar dalam positive parenting adalah pendidikan moral. Moral merupakan nilai fundamental (fundamental value) dalam perkembangan jiwa sang anak sampai akhirnya nilai itu benar-benar tertanam saat dia dewasa kelak. Adapun peran utama orang tua dalam hal ini adalah core value (pusat nilai) yang akan diteladani oleh sang anak. Menurut Ghazali, ada empat nilai moral yang harus ditanamkan dalam diri seorang anak. Yang pertama yaitu empat kebaikan utama: hikmah (kebijaksanaan/kecerdasan), syaja’ah (keberanian), ‘iffah (pemeliharaan diri), dan ‘adalah (kesatupaduan dari ketiga elemen tadi).
Untuk memahami pandangan ontologis al-Ghazali tentang moral, dapat dilacak dari konsepnya tentang khulq. Al-Ghazali mendefisinikan kata khulq (moral) sebagai suatu keadaan atau bentuk jiwa yang menjadi sumber timbulnya perbuatan–perbuatan yang mudah tanpa melalui pemikiran dan usaha. Maksud kata “mudah” di sini adalah berarti bahwa setiap perbuatan moralistik sudah menjadi spontanitas perilaku sang anak selaku subjek moral, tanpa ada paksaan, pamrih atau rasa tertekan dalam menjalani perbuatan itu. Spontanitas—pada level tertentu—merupakan refleksi keikhlasan dalam beramal.
Level spontanitas dalam suatu tindakan akhlaki (moralistik) ini merupakan bentuk puncak dari pertumbuhan moral dalam diri sang anak yang akan ia raih saat ia menginjak usia dewasa. Untuk sampai ke sana tentunya membutuhkan tahapan-tahapan pendidikan dan pengajaran yang baik dan terjaga kontinuitasnya.
Dua sistem pendidikan akhlak menurut pendapat-pendapat al-Ghazali adalah: pendidikan non formal dan non formal. "Pendidikan ini berawal dari non formal dalam lingkup keluarga, mulai pemeliharaan dan makanan yang dikonsumsi. Selanjutnya Bila anak telah mulai nampak daya hayalnya untuk membeda-bedakan sesuatu (tamyiz), maka perlu diarahkan kepada hal positif. Al-Ghazali juga menganjurkan metode cerita (hikayaf), dan keteladanan (uswah al hasanah). Anak juga perlu dibiasakan melakukan sesuatu yang baik. Disamping itu pergaulan anakpun perlu diperhatikan, karena pergaulan dan lingkungan itu memiliki andil sangat besar dalam pembentukan keperibadian anak-anak.
  Bila sudah mencapai usia sekolah, maka kewajiban orang tua adalah menyekolahkan kesekolah yang baik, dimana ia diajarkan al-Quran, Hadits dan hal hal yang bennanfaat. Anak perlu dijaga agar tidak terperosok kepada yang jelek, dengan pujian dan ganjaran (reward). Jika anak itu melakukan kesalahan, jangan dibukakan di depan umum. Bila terulang lagi, diberi ancaman dan sanksi yang lebih berat dari yang semestinya. Anak juga punya hak istirahat dan bermain, tetapi pennainan adalah yang mendidik, selain sebagai hiburan anak. (al-Ghazali, 2000;624-627).
  Pendapat al-Ghazali ini senada dengan pendapat Muhammad Qutb dalam dalam System Pendidikan Islam (1993). Metode ini meliputi keteladanan, nasehat, hukuman, cerita, dan pembiasaan. Bakat anak juga perlu digali dan disalurkan dengan berbagai kegaitan agar waktu waktu kosong menjadi bermanfaat bagi anak. Hal ini adalah pelaksanaan hadist Nabi agar anak dididik memanah, berenang dan menunggang kuda. Sementara pengaruh lingkungan menurut Ustman Najati (2002;35) berpengaruh besar pada anak, sebagaimana sabda Rasulullah; "laki-laki itu tergantung temannya, maka hendaklah kalian melihat kepada siapa ia berteman. " (HR Abu Daud dan Tirmidzi)
  Perhatian al-Ghazali terhadap faktor makanan baik orang tua atau anak merupakan hal menarik. Ini menurutnya akan menjadi gen baik dan buruk bagi perkembangan generasi. Demikain pula pendidikan di rumah serta pergaulan. Dalam konteks ini al-Ghazali setuju dengan aliran konvergensi yang menyatakan pandidikan di tentukan oleh titik temu faktor keturunan dan lingkungan (Purwanto, 1990; 14-17). Sementara metode pembiasaan dalam psikologi modern dikenal dengan kondisioning ala Ivan Petrovic Pavlov dan Watson. Dua psikolog yang meneliti pada kebiasaan anjing ini menyatakan semua mahluk hidup berdasarkan kebiasaan. Bila terbiasa baik maka ia akan baik atau demikian juga sebaliknya. Pembiasaan akan menimbulkan sifat refleks yang tanpa pemikiran. (Purwanto, 1990;90, Suiyabrata. 1993:284-287). Dengan demikian gerak refleks ala Pavlov sama dengan haal (kondisi) yang di ungkapkan al-Ghazali.
  Sementara untuk pendidikan formal, al-Ghazali mensyaratkan adanya seorang guru atau mursyid yang mempunyai kewajiban antara lain: mencontoh Rasulullah tidak meminta imbalan, bertanggung jawab atas keilmuannya, Hendaklah ia membatasi pelajaran menurut pemahaman mereka. Hendaklah seorang guru ilmu praktis (syar'i) mengamalkan ilmu, yang amal itu dilihat oleh mata dan ilmu dilihat oleh hati, tapi orang yang melihat dengan mata kepala itu lebih banyakdari mereka yang melihat dengan mata hati.(al-Ghazali, 2003; 153-160).
  Adapun kewajiban murid adalah: memperioritaskan kebersihan hati, tidak sombong karena ilmunya dan tidak menentang guru, dalam belajar seorang murid janganlah menerjunkan dalam suatu ilmu secara sekaligus, tetapi berdasarkan perioritas. Semua ini diniatkan untuk bertaqarub kepada Allah. Bukan untuk memperoleh kepemimpinan, harta dan pangkat. (al-Ghazali.2000; 101-110). Dengan peraturan pengajar dan pelajar, al-Ghazali membuat suatu sistem yang membentuk satu komunitas pendidikan. Dimana hubungan antara seorang guru dan murid sangat sarat dengan peraturan yang satu dan yang lainnya.
  Kewajiban guru dan murid, serta pembagian ilmu yang dilakukan al-Ghazali menurut para tokoh merupakan bukti dari pengetahuan dan pengalamannya sebagi seorang pendidik sewaktu di Nizamiyah Baghdad.
  Pengalaman sewaktu berstatus siswa dalam mencari ilmu dan guru yang mengajar di ungkapkan secara detail melebihi pembahasan pakar lainnya.
  Namun di satu sisi, pembagian al-Ghazali terhadap ilinu menjadi yang fardhu 'ain dipelajari dan fardhu kifayah, ilmu agama dan ilmu umum mendapatkan kritikan tajam. Menurut Fazlurrahman (dalam Bakar, 1997:247) pembagian ilmu menjadi religius dan intelektual "merupakan pembedaan paling malang yang pernah di buat dalam sejarah intelektual Islam". Memang sarjana tidak menolak ilmu intelektual tetapi kemunduran Islam, salah satu sebabnya adalah "pengabaian ilmu intelektual". Mahdi Ghulsyani (1995:44-45) juga menolak pembagian ilmu al-Ghazali. Karena "klasifikasi ini bisa menyebabkan miskonsepsi bahwa ilmu non agama terpisah dari Islam, dan ini tidak sesuai dengan prinsip universalitas Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam". Demikian juga, Amin Abdullah (2002;31) mengkritik pendapat al-Ghazali tentang kewajiban adanya mursyid (pembimbing moral) bagi seorang yang ingin menempuh pendidikan akhlak dalam kaitannya dengan tasawuf. Pemikiran rasional modem cenderung menolak posisi murid yang menurut al-Ghazali "seperti mayat di tangan orang yang memandikan" atau "ilmu lanpa guru, maka gurunya adalah Syetan ".
Pendidikan akhlak al-Ghazali presfektif filsafat Pendidikan
  Dalam konteks pemikiran filsafat pendidikan al-Ghazali menganut filsafat teosentris, yang di dalamnya memuat asas teologis, di mana konsep antroposentris merupakan bagian esensial dari konsep teosentris. Sedang ditinjau dari segi zaman al-Ghazali termasuk kelompok Tradisonal yaitu Perenialism—Essentilaism. Hal itu dilihat dari dasar filsafat pemikirannya yaitu al-Quran dan al-sunnah dan atsar para sahabat Nabi, dikatakan essensialis karena pendidikan al-Ghazali adala pendidikan nilai-nilai yang tinggi atau budi pekerti yang luhur hanya saja lebih bersifat sufistik atu antroposentris.
  Dalam epistimologi pengetahuan sama dengan teorinya John locke yaitu Progresivisme dalam teori pendidikaan yang terkenal dengan kertas putih "tabularasa" kemudian dalam klasifikasi pengembangan filsafat pendidikan Islam konsep al-Ghazali cenderung lebih dekat kepada Tipologi Tekstual salafi.
Sumber :

1. Judul : FILSAFAT IMAM AL-GHAZALI
 Alamat : http://fendychup.blogspot.com/2009/07/fendy-filsafat-imam-al-ghazali-riwayat.html
 Penulis : FENDI ALFI FAUZI
2. Judul : PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK
 Alamat : http://eprints.ums.ac.id/89/1/Al-Ghazali-suhuf.doc
 Penulis : Hamdani Rizal dan Saifuddin Zuhri
3. Judul : PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN
 Alamat : http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/03/pemikiran-al-ghazali-tentang-pendidikan.html
 Penulis : anonim
4. Judul : Positive Parenting dalam ajaran Imam Al-Ghazali
 Alamat : http://alrasikh.wordpress.com/2009/08/26/positive-parenting-dalam-ajaran-imam-al-ghazali
 Penulis : Ridwan Munawwar
5. Judul : Al-Ghazali's Deliverance from Error / (al-Munqidh min al-Dalal)
 Alamat : http://www.fonsvitae.com/deliverance.html
 Penulis : --John J. Donohue, S.J.

Menuju jalan kesuksesan

Perangkat Pembelajaran Jenjang SD / MI

*Perangkat Pembelajaran Jenjang SD / MI Kelas 1 , 2, 3, 4, 5, & 6 Lengkap ( Recomended)* Tahun Pelajaran 2018 - 2019 ✅ *Aplikasi Raport...